“ Apakah Cemara
Itu ? ”
Judul
buku :
CEMARA
Pengarang
: Hamsad Rangkuti
Penerbit :
Nusa Agung dan Kreasi Media Utama
Cetakan :
Kedua, 2004
Tebal :
198 halaman
Kertas
isi :
HVS 70 gram/m2
Kertas
Kulit :
Art Karton 180 gram/m2
Membaca kumpulan cerpen “CEMARA” karya Hamsad
Rangkuti ini, kita seakan diajak untuk masuk dalam pola pikir yang
berdimensikan problematika masyarakat tempo dulu. Cerpen ini mungkin dapat
mengobati rasa rindu para pembaca yang ingin bernostalgia dengan karya sastra
tahun ’60-an. Kisah yang ia tuangkan dalam karyanya tersebut mengambarkan
kehidupan masyarakat Indonesia yang masih konservatif dan percaya dengan
tahayul. Kita akan serasa berhadapan secara langsung dengan begitu sederhananya
zaman dahulu. Berbeda dengan Indonesia dewasa ini, kemajuan teknologi membuat
pemikiran masyarakat berkembang. Namun
masyarakat lebih
suka sesuatu yang instan sehingga mayoritas manusianya menjadi konsumtif.
Beranjak dari situ kemunculan cerpen
ini di dasari oleh masa lalu sang pengarang. Hamsad Rangkuti adalah anak keempat dari enam bersaudara, mereka hidup menderita sejak kecil. Ia lahir 7 Mei
1943 di Titikuning, Medan, Sumatera Utara. Dia pernah membantu ibunya bekerja
sebagai buruh pengutip ulat tembakau di Lubuk Pakam. Setelah beberapa kali
berpindah-pindah tempat tinggal,
keluarga
itu menetap di Kota Kisaran, tempat ayahnya bekerja sebagai penjaga malam.
Hamsad kerap menemani ayahnya berjaga. Pada saat melawan kantuk, sang ayah rajin
bercerita kepadanya. “Mungkin kepandaian bercerita itu kemudian menurun kepada
saya, “kata Hamsad kelak.
Ketiadaan biaya membatasi pendidikan
Hamsad sampai tingkat SMA.
Sejak
1960 ia menulis cerpen. Pada 1964 salah seorang utusan Sumatera Utara ke Konperensi
Karyawan Pengarang Indonesia (KPKI) di Jakarta. Ia menetap di Jakarta sejak
1965. Cerpennya dimuat di berbagai koran dan majalah antara lain: Kompas,
Mutiara, Gadis, Sarinah, Kartini, Femina, Horison, dan Salam.
Cemara merupakan kumpulan cerpennya
yang kedua setelah Lukisan Perkawinan, Penerbit Sinar Harapan, 1982. Terakhir
Hamsad Rangkuti bekerja di Yayasan Indonesia dan majalah sastra Horison,
Jakarta.
Dalam
buku yang ditulis oleh Hamsad Rangkuti, ada dua puluh cerpen menarik yang ia
ungkapkan dalam karyanya tersebut. Dua puluh cerpen tersebut kebanyakan memiliki cerita yang unik, dan
terkadang mengandung unsur magis. Salah satu cepen yang berjudul “Cemara”
yang juga menjadi judul bukunya, melukiskan bagaimana seorang wanita yang
meninggal akibat kecelakaan di tempat kerjanya. Wanita itu bernama Mariam, ia berbadan kurus dengan
rambut yang panjang. Rambut itulah yang mencelakakannya.
Rini adalah teman Mariam. Ia
juga berkerja dalam pabrik baju kaus yang sama dengan tempat Mariam bekerja. Pada
saat jam istirahat, Mariam membuka kain pembungkus rambut kepalanya. Dia
kibaskan gulungan rambut itu karena gerah. Mariam mengira semuanya berjalan
sebagaimana lazimnya: mesin berhenti begitu sirene berdengung. Tetapi, ujung
rambut itu melilit cepat pada bagian mesin yang berputar itu, seketika saja
menyentakan kepala Mariam hingga mesin penggulung benang itu merenggut kulit
kepalanya. Seminggu Mariam dirawat di rumah sakit, seminggu di rumah, dan dia
meninggal.
Beberapa
hari setelah Mariam dimakamkan, Rini datang berkunjung ke rumah almarhumah
sahabatnya itu. Ibu Mariam memberikan cemara Mariam kepada Rini. Cemara yang
berarti rambut, ini diberikan kepada Rini sebagaimana amanat dari Mariam .
Ada
juga cerpen dengan judul “Muntah Emas” yang berisi tentang seorang penumpang bus
yang bersedia duduk di kursi yang di bawahnya terdapat muntah yang berserakan. Ia
masuk dalam bus yang penuh. Tetapi kelihatan aneh, ada satu bangku kosong yang
tak seorang pun mau menempatinya. Ia tidak mau ambil pusing, dan melangkah
menuju bangku kosong itu. Malahan orang memberi jalan untuknya. Begitu ia
sampai di bangku kosong itu, tenyata telah menjemput muntah berserakan di atas
lantai. Orang-orang mengira ia akan sama seperti penumpang lain yang mengurungkan
niatnya untuk duduk di atas bangku itu .
Tetapi
tak disangka ia masuk ke celah bangku dan duduk seenaknya di depan muntah yang
berserak. Penumpang lain terdiam memandang. Ia perhatikan muntah itu. Beberapa
potongan mie, selada,
dan potongan-potongan kecil bakso ada disana. Semuanya berwarna kuning dan
berlendir. Dalam benaknya, ia pernah mengalami hal serupa sebelumnya malahan ia
mendapatkan lima buah gigi emas bercampur muntah yang berserak di atas lantai
bus. Ia pikir, ia tidak perlu menceritakan kepada penumpang lain bagaimana ia
memungut lima buah gigi emas dari muntah, dan menguangkannya di toko emas.
Lain
halnya dengan cerpen yang satu ini, “Lagu di Atas Bus” mungkin agak berbeda
dengan cerpen Hamsad Rangkuti lainnya. Cerpen ini cenderung lebih banyak
percakapan dibanding narasinya. Bus menjadi setting tunggal dalam cerpen ini. Kisah ini berawal dari sebuah
bus malam jarak jauh meluncur dalam kecepatan sedang-sedang saja. Orang-orang
di dalam bus tidak tertidur. Mereka merasa segar, karena mereka baru saja
selesai makan malam di tengah perjalanan mereka.
Sopir menghidupkan tape recorder.
Para penumpang mendengarkan lagu berkumandang sambil berlena-lena. Tetapi di
tengah-tengah lagu itu, terdengar orang berteriak :
“Bolehkah
lagu itu ditukar ? saya ingin mendengarkan lagu jazz !” kata orang yang
berteriak itu.
“Tolong
Pak Sopir. Lagunya ditukar saja dengan irama jazz,” kata penumpang yang lain.
“Tetapi
saya tidak punya kaset jazz
!”
kata sopir.
“Aku
membawa kaset lagu yang aku minta !” Orang yang meminta lagu jazz mengeluarkan
kaset jazz dari dalam sakunya dan
berkumandanglah lagu jazz.
Tetapi,
baru beberapa detik saja lagu itu berkumandang terdengar pula orang berteriak
sama halnya dengan orang sebelumnya yang ingin lagu jazz itu ditukar dengan lagu
disko. Begitu seterusnya, lagu itu selalu berganti seiring penumpang menginginkannya
untuk ditukar dengan lagu kesukaan mereka. Mulai dari lagu keroncong, dangdut, pop, gending jawa, kecapi
sunda, saluang, Tapanuli modern, mars perjuangan.
Pergantian
lagu itu berakhir pada lagu Indonesia Raya. Seseorang berseragam hijau lengkap
dengan dua pistol di pinggangnya meminta lagu itu diputar. Tidak seorang pun
mampu mencegah lagu itu berhenti
sekali pun berani.
“Berarti
kau penghianat! Kau boleh keluar dari dalam bus ini!” kata orang yang
berseragam hijau lengkap dengan dua
pistol di pinggangnya.
Semua
orang diam. Dan lagu Indonesia Raya itu berkumandang sepanjang perjalanan,
sampai mereka tiba di terminal terakhir.
Inilah
esensi dari suatu resensi, yakni mengomentari dan menilai suatu buku dari
berbagai aspek: aspek luar dan aspek isi. Menilai
buku karangan Hamsad Rangkuti tentunya harus melihat dari berbagai sudut
pandang. Jika di lihat dari aspek luar, perwajahan
kulit muka buku kumpulan cerpen ini kurang menarik dan terkesan sederhana. Seharusnya warna dasar dari covernya sendiri
berwarna cerah agar para pembaca tertarik dengan penampilan buku ini. Sehingga
dari pandangan pertama melihat buku ini pembaca akan berminat melihatnya
seterusnya ia akan tertarik membeli. Gambar
seorang perempuan memakai gulungan rambut yang termuat di cover kurang begitu jelas. Goresan gambar tidak
detail. Dengan demikian tampilan cover buku ini akhirnya tampak kurang memiliki
daya jual sebagai buku bacaan.
Namun
demikian, gambar yang digunakan sebagai cover telah mampu mewakili maksud judul
buku tersebut. Kemudian beralih ke berat maupun ketebalannya, buku ini
menggunakan jenis kertas HVS 70 gram/m2
berwarna putih dengan ketebalan 198 halaman. Melihat bahan yang digunakan, buku
ini cukup ideal untuk jenis karya sastra. Dengan pilihan kertas tadi tulisan akan mudah terbaca dengan
jelas serta kertas akan tidak mudah
robek. Jenis huruf atau tipografi yang digunakan cukup besar sehingga mudah
untuk dibaca. Tetapi juga tidak terlalu besar sehingga tidak menyebabkan
pemborosan halaman. Huruf yang digunakan luwes, enak dipandang dan tidak
menjenuhkan.
Menginjak pada aspek isi dari buku ini. Sebetulnya membuat sebuah cerpen merupakan suatu pekerjaan yang tidak
mudah, karena begitu cerita di mulai pengarang harus berupaya bagaimana pembaca tidak berhenti
membaca dan tetap setia menyusuri jalinan cerita sampai selesai. Namun ditangan sastrawan berbakat Hamsad Rangkuti, semua
itu dapat ditangani dengan mudah, ia sangat piawai membangun daya emosi dan
imajinasi pembaca. Mereka seakan dihadapkan pada impuls naratif
yang memancing daya imajinasi dan juga hanyut seakan pembaca merasa ada di dalam cerita tersebut.
Secara garis besar tema dari masing-masing cerpen
berbeda. Tema yang diangkat bervariasi berbeda dengan cerita pada umumnya.
Cerita dalam cerpennya juga tidak mudah ditebak dan memberikan amanat
tersendiri bagi pembacanya. Dengan kata lain, Hamsad mampu mengangkat sebuah
cerita membosankan menjadi sebuah cerita yang sangat menabjubkan.
Bagi pemuda
masa kini mungkin kurang kenal dengan kata “Cemara”. Begitulah judul cerpen
dari salah satu buku kumpulan cerpen ini, pasalnya cerita ini mungkin dapat berkontribusi
dalam memperkaya khasanah ilmu pengetahuan para pembaca khususnya kalangan
muda. Sebab ini terkait dengan perbendaharaan kata. Pasti orang akan
bertanya-tanya apa arti dari cemara. Cemara berarti rambut panjang yang ditata
sedemikian rupa sehingga dapat digunakan untuk membuat sebuah konde.
Berlanjut pada tema yang diangkat dalam cerpen ini ialah
seorang wanita yang meninggal akibat rambut panjangnya. Cerpen yang
mempunyai keterbatasan ruang, itu digunakan penulisnya untuk melancarkan “ permainan
halus”-nya dalam tema-tema cerita. Jalinan
cerita, Ia dijadikan
medium untuk melihat kembali dunia perempuan dengan segala aspeknya. Meski ia bukan perempuan, tetapi penulis mampu merangkum segala persoalan
yang dialami perempuan dari sudut pandang perempuan.
Dengan deskripsi tentang detail baik suasana
maupun tempat yang diceritakan dengan mengalir indah, dialog antar
tokoh-tokohnya yang saling bertautan, juga bangunan konflik yang di bangun,
bisa untuk memancing daya emosi dan imajinasi pembaca seakan kita sendiri yang
sedang mengalami konflik yang
ada pada jalinan cerita tersebut. Selain itu ending yang sering tak terduga membuat
pembaca tidak saja setia untuk menyusuri kata dan kalimatnya tapi bahkan bisa
larut di dalamnya.
Bagaikan dua sisi mata uang, ketika menguak sudut lain
dari buku ini yakni, kelemahannya. Cerita yang ditampilkan termasuk
panjang dan bahasanya agak sulit
dimengerti. Bagi orang yang tidak menyukai sastra, mungkin buku ini sedikit membosankan. Namun, bagi pecinta karya sastra, buku ini sangat menarik. Terlebih, semua cerpen ini dibuat pada tahun
1960-an. Sehingga, bahasa yang digunakan lebih sulit
dimengerti oleh anak-anak remaja zaman sekarang dan cerita yang juga
mengarah pada masa-masa 1960-an.
Terlebih lagi dengan cerpen yang satu ini, “Lagu di
Atas Bus” yang ceritanya sangat monoton. Konflik yang dituliskan terlalu
bertele-tele dan tidak berkembang. Pembaca akan dibuat bingung membacanya,
sebab mayoritas bacaannya lebih banyak percakapan dibanding naratifnya.
Sehingga sistematika penceritaan dalam cerpen ini menjadi kurang menarik . Ide yang diangkat dalam cerpen ini kurang
masuk akal, sebab bagaimana bisa seolah-olah terjadi pergantian lagu yang
berada dalam bus umum secara berkali-kali sampai sebelas pergantian lagu oleh
penumpang.
Mengenai sistematika penulisan,
ada beberapa cerpen yang pengaturan paragrafnya kurang baik. Dalam satu
paragraf normalnya berisi enam sampai tujuh kalimat sedangkan satu paragraf yang ditulis
dalam buku ini sebagian kecil ada yang
berisi sampai dengan sebelas kalimat. Ini menyebabkan pembaca kesulitan
memahami pokok pikiran dalam satu paragraf tersebut dan terkesan monoton.
Selain itu kata-kata yang terdapat dalam cerpen banyak yang salah cetak.
Misalnya dalam cerpen “Penyakit Sahabat Saya” yakni,
·
“Sesudah lama-ama saya
perhatikan perbedaan itu, lalu saya tanya kepada pedagang sate itu esok
harinya.”
·
“Ke rnana?” kataku,
tetapi para tetangganya tidak tahu.
Seharusnya penerbit lebih fokus lagi
untuk menyeleksi kata per kata dari masing-masing cerpen. Karena salah mencetak
kata akan merubah arti dari kata tersebut atau bahkan sebuah kata malah tidak
memiliki arti apapun. Untuk itulah, penerbit wajib menindak lanjuti hal ini
secara serius agar tidak terulang pada karya selanjutnya.
Berbicara tentang
manfaat, kumpulan cerpen ini mungkin dapat berkontribusi dalam memperkaya
khasanah ilmu pengetahuan para pembaca khususnya kalangan muda. Berbagai amanat
yang tertuang dalam baris-baris yang pengarang tulis dapat dijadikan pelajaran
hidup bagi si pembaca. Agar kedepannya dapat menjadi acuan hidup untuk
menghadapi kenyataan sosial masyarakat sekarang.
Secara
keseluruhan dari
20 cerpen ini, pengarang
berhasil untuk menjaga ritme cerita sehingga pembaca akan dihadapkan pada
kejutan-kejutan. Dan juga dengan gaya bercerita yang mengalir meskipun ada
letupan-letupan perasaan para tokohnya, membuat ceritanya enak untuk dibaca dan dinikmati. Oleh karena itu, buku ini dapat digunakan sebagai
rujukan untuk menghibur pembaca yang sedang gundah atau bingung mencari buku
bacaan dimana cakupan isi dari buku ini telah mampu memancing daya emosi dan imajinasi pembaca.
Semoga resensi
yang saya buat ini dapat menjadi acuan untuk mengenal lebih dalam buku ini dari segala aspek baik luar maupun
dalam. Selamat membaca.